28.12.18

Meninggalkan Kenyamanan Demi Keutuhan Keluarga

Cerita lama tentang kisah petualangan baru di negeri orang 😊

Akhirnya hari itu datang juga (10 Juni 2016), hari di mana kami sekeluarga (Ayah, Bunda, dan G) akan berangkat ke tempat tinggal baru di Irak, tepatnya di kota Sulaymaniyah. Ayah sudah lebih dulu berangkat ke sana, yaitu sekitar bulan November 2015. Rencana awal kami akan bergabung dengan Ayah di sana di bulan Maret 2016. Namun karena berbagai kondisi yang ada, akhirnya diputuskan untuk mundur beberapa bulan.



Di hari keberangkatan, aku masih tetap pergi bekerja dan pulang pada pukul 4 sore. Pesawat kami berangkat pada pukul 00.20 dini hari keesokan harinya, namun kami harus sudah berada di bandara pada pukul 10.00 malam. Kami sangat diberkati dengan tawaran yang diberikan oleh Pak Pendeta Unandi untuk mengantarkan kami ke bandara. Mengingat begitu banyak barang bawaan kami (3 koper dan 1 tas besar lainnya beserta beberapa printilan lainnya :) ), maka tawaran itu dengan cepat kami terima. Pak Unandi dan putrinya Eva menyertai perjalanan kami. Berbagai wejangan diberikan olehnya, seperti harus terus dekat dengan Tuhan, kompak selalu, dll.




Singkat cerita, kami pun menjalani perjalanan  pesawat. Pertama menuju Doha, Qatar. Perjalanan memakan waktu sekitar 8 jam. Transit sekitar 1,5 jam, perjalanan pun dilanjutkan menuju ke bandara Sulaymaniyah sekitar 2,5 jam lagi. Ketika pesawat sudah hampir sampai, pemandangan terhampar di bawahku. Gersang.. gersang.. dan gersang. Oh, kesan pertama sudah membuatku pesimis. Tapi harus meyakinkan diri sendiri bahwa ini adalah demi kebaikan keluarga kami. Di mana-mana tampak deretan gunung, namun jangan bayangkan gunung seperti di Indonesia lho yang hijau dan sejuk. Gunung yang tampak berwarna coklat, seperti gunung botak. Hanya beberapa pohon saja yang terlihat. Fiuuuh!!

Kami turun agak terakhir dari pesawat, sehingga kami pun tertinggal bus pengantar dari pesawat menuju ruang bandara. Sudah pasrah harus berjalan kaki agak jauh dengan temperatur suhu yang sudah panas. Eh, ternyata tiba-tiba ada bus lainnya datang, namun tertulis di sana VIP. Aku pun langsung merasa tidak PD, apalagi seseorang bertanya apakah kami penumpang VIP. Tentu saja jawabannya adalah bukan dan orang tsb memberitahukan kepada supir untuk pergi saja. Namun sang supir berbaik hati (atau dia berpikir daripada sia-sia tidak membawa siapa-siapa), dia mempersilahkan kami untuk naik. Wah, senangnya!!!

Di pintu masuk, petugas langsung meminta Ayah untuk mengisi berbagai formulir (mungkin berkaitan dengan visa). Cukup lama menunggu, kemudian kami dipersilahkan untuk melapor ke petugas imigrasi. Aku dan G difoto, lalu boleh masuk untuk mengambil bagasi. Bandara ini sangatlah kecil ukurannya, padahal merupakan bandara internasional. Selain itu, troli pun sangat dibatasi (sempat tidak boleh dibawa untuk mengantar bawaan ke parkir mobil). Namun akhirnya boleh, dengan catatan troli harus diantarkan kembali kepada petugas troli.

Supir kantor ayah sudah menunggu untuk menjemput kami. Kami pun diantarkan menuju apartemen yang selama ini menjadi kediaman Ayah. Apartemen kami berada di lokasi Goizha City, di kaki Gunung Goizha. Masuk ke dalam apartemen, begitu pintu depan dibuka, kesan pertama adalah nyaman dan luas. Namun karena kelelahan tubuh yang dirasakan, aku belum dapat menikmati suasana yang ada. Rasanya hanya ingin segera mandi dan tidur. Bahkan sesudah mandi pun, perasaan masih belum nyaman karena masih terasa gamang karena berbelas jam berada di dalam pesawat. Ah, apalah artinya segala kelelahan ini dibandingkan kebahagiaan bisa berkumpul bersama kembali dengan suami tercinta. Hanya puji syukur kepada Tuhan Yesus yang dapat disampaikan tanpa habis-habisnya.



No comments:

Post a Comment

Thank you for reading my story. I would be happy to read your comment. :)